Fisika: Mengajarkan kejujuran

Demikian yang semestinya kita maklumi. Fisika bagi saya adalah sebuah tafsir yang bersifat eksak dari hukum2 alam karya Ilaahi yang maha Eksak ini.

Fisika dalam perkembangannya telah membawa manfaat bagi kehidupan ummat manusia. Era digital yang kini kita rasakan adalah salah satu hasil dari karya ummat manusia di bidang Fisika. Kita menggunakan keyboard untuk mengetik adalah karya Fisika, kita memakai HP, kita melihat TV, kita mendengar radio, kita berkendara, dst…dst…

Ini semua ada karena partikel elementer itu jujur dan tidak pernah menipu, baik menipu diri sendiri lebih2 orang lain, lebih2 bangsa, lebih2 bangsa2…

Saya mendapatkan sebuah berita yang cukup membagakan karena putra bangsa ini meraih medali emas dalam ajang lomba fisika tingkat Asia, yakni Olimpiade Fisika se-Asia (APhO=Asia Physics Oliampiad). Berikut saya kopikan berita yang dimuat di Jawa Pos edisi Senin 28 April 2008:

Di tengah upaya keras dunia pendidikan Indonesia menyelenggarakan ujian nasional (unas), prestasi membanggakan dipersembahkan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Dalam even tahunan, Olimpiade Fisika Asia atau Asia Physics Olimpiad (APhO) IX, di Mongolia, yang berlangsung 20-28 April, TOFI meraih tiga medali emas, satu perak, satu perunggu, dan empat tanda penghargaan.

Atas prestasi tersebut, Indonesia menempati urutan runner-up di bawah Tiongkok yang mendominasi dengan perolehan 8 emas. Posisi Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Taiwan yang mendapatkan dua emas. Raihan total tersebut sekaligus melampaui target TOFI yang sebelumnya hanya mengharapkan dua emas, empat perak, dan dua perunggu.

Ketua TOFI Prof Yohannes Surya mengatakan, hasil di AphO IX itu sudah sangat baik dan menunjukkan bahwa kualitas siswa Indonesia patut diperhitungkan. “Ini juga memberikan harapan bahwa ke depannya Indonesia pasti mampu bersaing dengan negara-negara besar jika kita mau bekerja keras ke arah sana,” katanya saat dihubungi kemarin (27/4).

Dibandingkan dengan even yang sama tahun lalu di Shanghai, Tiongkok, jumlah emas yang diraih TOFI tahun ini bertambah satu. Saat itu, Indonesia memperoleh dua emas dan menempati posisi runner-up setelah Tiongkok. Sejak 1994, Tiongkok adalah negara yang selalu mendominasi perolehan emas dalam ajang bergengsi tersebut.

Tiga peraih emas di TOFI adalah Adam Badra Cahaya dari SMAN I Jember, Kevin Winata dari SMAK 1 Penabur Jakarta, dan Rudy Handoko Tanin dari SMA Sutomo 1 Medan. Selain meraih tigas emas, prestasi membanggakan yang lain adalah masuknya Adam sebagai siswa peraih nilai tertinggi APhO IX. Sebelumnya, Adam adalah peraih perunggu di APhO VIII. “Ini menunjukkan bahwa sudah saatnya kita mengedepankan SDM daerah untuk kemajuan Indonesia,” kata Yohanes.

APhO IX digelar di Ulaanbaatar, Mongolia, yang diikuti 18 tim dari Australia, Azerbaijan, Kamboja, Laos, Tiongkok, Hongkong, India, Indonesia, Israel, Makau (Tiongkok), Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Vietnam.

Tim Indonesia yang bertanding dalam ajang bergengsi itu terdiri atas delapan siswa dan dua ketua tim, Hendra Kwee Phd dan Dr Sastra Kusuma Wijaya. Dalam tim itu juga, turut serta tiga siswa yang diterjunkan sebagai tim tamu.

Status Adam

Meski prestasinya membanggakan, berita sukses Adam dari Mongolia justru mengundang kebingungan di kampung halamannya di Jember, Jawa Timur. Radar Jember (Grup Jawa Pos) melaporkan, kalangan guru SMAN 1 Jember mengungkapkan bahwa Adam sudah lulus tahun lalu. Bahkan, seorang guru Adam di SMAN 1 Jember, Hari Purwarini, menyatakan Adam sudah berkuliah di luar negeri.

Lulusnya Adam dari SMA juga diketahui dari dokumentasi Radar Jember. Pada edisi Minggu 20 Mei 2007, Radar Jember menulis, Adam adalah anggota TOFI di APhO VIII Shanghai, Tiongkok. Saat itu, dia meraih medali perunggu. Sepulang dari Shanghai tahun lalu, putra pasangan Prawata dan Sulistyani tersebut terpaksa masih menjalani ujian nasional (unas) yang tidak bisa diikuti tepat pada waktu pelaksanaan.

Status Adam alias ABC juga terlacak di situs blog ABC yang dia buat. Di situs itu, dia menyebutkan bahwa dirinya diterima di Osaka University Jepang. Bahkan, dia bersama rombongan penerima beasiswa dari pemerintah Jepang berangkat ke Jepang pada 1 April lalu. Dengan polos, Adam juga menulis dalam blog-nya bahwa dirinya disuruh Pak Yoh (Prof Yohannes Surya PhD, ketua TOFI) untuk ikut IPoH lagi.

Saat dihubungi terpisah, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Suyanto membantah status Adam Badra Cahaya saat ini adalah lulusan SMAN 1 Jember. “Lho, dia belum lulus kok,” tegasnya kemarin malam.

Status Adam, kata dia, saat ini baru kelas III. “Dia itu baru mengikuti unas (ujian nasional) besok,” ungkap Suyanto mencoba meyakinkan.(eli/bay/jpnn/kim)

Semoga orang-orang pinter di negeri ini jujur dan tidak bohong. Adam memang belum lulus dari Osaka University Jepang.

Saya sempat ngobrol sama Mas Adam, ternyata dia masih belajar bhs Jepang kok dan belum kuliah, serta usia masih di bawah 20 thn. Jadi syarat ikut APhO memang syah.

Terlepas dari simpang siur status ABC di JawaPos, ada baiknya kita menyimak ulasan Pak Agus Purwanto (Fisika ITS) perihal Olimpiade Fisika di tahun 2007 silam. Berikut saya kopikan tulisan beliau dari Fisika LIPI:

Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) meraih dua emas, tiga perak, dan dua perunggu di Asian Physics Olympiad (APhO) ke-8 di Shanghai Cina 22-28 April 2007. Hasil ini, menjadikan Indonesia sebagai satu dari empat negara yang mampu menyabet emas APhO, sekaligus menempel ketat Cina. Meskipun demikian, olimpiade fisika dan cabang ilmu lainnya tetap perlu dikritik.

Yohannes Surya (YS) sang arsitek TOFI seperti berhasil memecah kebekuan pendidikan Indonesia. Mulanya ia bina siswa-siswi yang disiapkan dalam ajang International Physics Olympiad (IPhO) dengan biaya sendiri. Upaya ini membuahkan hasil, yakni diraihnya medali perunggu, perak, dan emas. YS dengan TOFI-nya membuat kejutan lebih lanjut dengan ungkapan provokatifnya ‘The First Step to Noble Prize’.

Orang Indonesia seperti terhipnotis. Akibatnya, penyelenggaraan IPhO ke-33 di Denpasar tahun 2002 konon menjadi IPhO paling istimewa dan mewah. Selain diselenggarakan di hotel bintang lima juga dibuka oleh Presiden Megawati. Demikian pula APhO ke-6 2004 di Pekanbaru yang dibuka Menko Kesra, Jusuf Kalla. Bandingkan dengan pembukaan APhO ke-8 yang hanya dibuka oleh YS sebagai presiden APhO dan dihadiri wakil wali kota Shanghai (Kompas, 23/4/2007).

Tahun lalu Pesiden SBY menyambut para siswa TOFI bak pahlawan. YS dipilih sebagai wakil ahli pendidikan yang mendapat kesempatan bertemu Presiden Bush yang berkunjung ke Indonesia.

Desakralisasi olimpiade

Kini kita dilanda demam olimpiade. Sejak tahun 2004, di beberapa provinsi diadakan pelatihan guru-guru untuk mempersiapkan siswa-siswi ke aneka olimpiade. Aneka kompetisi tingkat SD sampai SMA dinamai olimpiade. Ada olimpiade fisika, olimpiade matematika, kimia, biologi, komputer, ekonomi bahkan di lingkungan Muhammadiyah ada olimpiade Al Islam.

Dari sekian banyak olimpiade ilmu, barangkali olimpiade fisika yang terkesan paling wah. Begitu mendengar, si fulan meraih medali IPhO, maka kita membayangkan sosok jenius mirip Newton, Einstein, atau Hawking. Atau terbayang orang nyentrik yang berkutat di laboratorium dan sedang membuat formula bom atom Hiroshima yang dahsyat itu.

Masyarakat cukup silau dan bangga dengan prestasi siswa-siswi SMA Indonesia di ajang IPhO dan APhO. Kesan wah bahkan sakral terhadap TOFI tidak terlalu salah. YS berulang-ulang menyatakan bahwa soal IPhO dan APhO setara dengan soal doktor. Pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka dapat mengatasi soal-soal sulit tersebut? Sedemikian hebatnya sekolah-sekolah kita?

Siswa yang lolos seleksi sampai tingkat provinsi dididik khusus fisika selama beberapa bulan oleh para doktor fisika. TOFI tahun ini, misalnya, telah dikarantina di Karawachi sejak September 2006. YS yang pernah menulis buku Mekanika Tanpa Kalkulus menyatakan siswa SMP yang ingin lolos masuk TOFI harus tamat kalkulus yakni limit, diferensial, dan integral sehingga saat SMU bisa konsentrasi belajar fisika.

Kesan sakral akan berkurang bila kita tahu garis besar pelaksanaan IPhO dan APhO. Sebelum diujikan, soal dan solusinya didiskusikan dengan semua pembimbing dan soal bisa mengalami modifikasi. Pada tahap ini dibahas dan disepakati pula skor nilai setiap nomor dan setiap tahap jawaban. Untuk menghindari kebocoran, panitia melakukan pengamanan dan aturan ekstra ketat.

Soal yang telah disepakati dan diterjemahkan ke dalam bahasa ibu setiap negara peserta diujikan. Waktu ujian teori dan eksperimen masing-masing lima jam pada hari yang berbeda. Selanjutnya adalah tahap penilaian jawaban. Penilaian dilakukan oleh juri dan masing-masing pembina. Kopian nilai versi pembina dan juri ditukar dan dibandingkan.

Tahap berikutnya adalah moderasi, yakni penyesuaian bila terjadi perbedaan antara nilai dari juri dan pembimbing. Bila nilai juri lebih besar dari pembimbing bisa dipastikan tidak ada protes. Sebaliknya bila nilai juri lebih kecil apalagi cukup besar selisihnya maka akan terjadi perdebatan dan tawar-menawar nilai yang cukup alot dan seru antara pembina dan juri. Pada IPhO 2002 ada seorang ibu pembina yang tidak dapat menahan tangis lantaran gagal memperjuangkan kenaikan nilai siswanya. Dus, peran dan kejelian pembina sangat menentukan.

Tahap akhir adalah penentuan peraihan medali emas, perak, perunggu, dan kehormatan yang ditentukan sesuai selang nilai tertentu. Karena itu, peraih medali emas olimpiade bisa cukup banyak dan semua anggota tim suatu negara tertentu bisa mendapat emas.

Menertawakan diri sendiri

Secara umum, siswa yang masuk TOFI memang siswa yang cemerlang dan kita bangga atas prestasi mereka. Tetapi benarkah pemerintah mengalokasikan dana Rp 100 miliar untuk keberangkan tim A (belum tim B) ke Shanghai (Kompas, 20/4/2007)?. Untuk apa saja uang ini? Bukankah jumlah itu bisa untuk melahirkan sedikitnya 200 doktor baru di luar negeri ketimbang delapan doktor produk TOFI? Sekarang ini banyak doktor kita yang membagi waktu sebulan menjadi dua pekan di Tanah Air dan dua pekan di Malaysia. Sebabnya selain untuk menutupi kebutuhan ekonomi juga mendapat fasilitas riset yang memadai di sana.

Apa yang ingin kita capai dengan aneka olimpiade? Jelas, sukses aneka olimpiade internasional atau pun nasional sama sekali tidak mewakili sukses pendidikan kita. Sukses di APhO hanya memperlihatkan bahwa sebenarnya kita mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan negara manapun termasuk negara maju. Kenyataan ini juga bisa dilihat dari prestasi mahasiswa Indonesia di luar negeri. Tetapi sistem di dalam negeri membuat semua potensi tersebut sulit berkembang dan tumbuh menjulang.

Ketika presiden dan para petinggi lainnya menyambut dan memberi ucapan selamat misalnya kepada TOFI sejatinya mereka sedang menertawakan diri sendiri. Mereka seolah sedang mengucapkan “Selamat, kalian jadi juara karena telah menabrak sistem yang telah kita buat.”

Betapa tidak, emas IPhO atau APhO diperoleh oleh siswa yang meninggalkan program normal sekolah untuk dilatih bukan oleh guru sendiri tetapi para doktor fisika sekitar enam bulan di Karawachi. Singkatnya, mereka menjadi juara karena keistimewaan sistem dan dispensasi yang mereka dapatkan. Anggota TOFI yang sekarang kelas tiga SMA mendapat dispensasi pelaksanaan UN dan baru menjalani UN 14-16 Mei 2007.

Sekarang ada Olimpiade Sains Nasional yang diselenggarakan setiap tahun. Strategi guru, sekolah dan diam-diam sepakati diknas lokal untuk melatih para atlet dan mendulang sebanyak mungkin medali adalah kebijakan dispensasi. Artinya, siswa diperkenankan dilatih pelajaran tertentu dan meninggalkan aneka pelajaran lainnya tetapi nantinya tetap naik kelas atau lulus sebagaimana siswa-siswa lainnya. Tanpa jaminan seperti ini hampir dapat dipastikan tidak ada siswa yang mau mengikuti olimpiade.

Bila demikian untuk apa medali APhO dan IPhO, bila harus menyimpang dan menggunakan dana sangat besar? Akankah prestasi APhO menjadi sekadar penghibur diri dari kemiskinan prestasi? Kita tidak ingin IPhO dan sejenisnya menjadi lahan baru penghamburan uang negara. APhO dan IPhO diikuti berbagai negara termasuk negara maju, tetapi menariknya Jepang belum pernah berpartisipasi sebagai peserta.

Ikhtisar

* Kesuksesan di ajang olimpiade sains, sama sekali tidak mencerminkan kondisi nyata pendidikan di Indonesia.
* Dana besar untuk olimpiade, semestinya bisa dialokasikan untuk memajukan pendidikan yang lebih massal.
* Secara umum, pola yang dijalankan dalam olimpiade sains telah menabrak sistem pendidikan yang ada.

Fisika itu Tafsir Kauniyah, jadi apa pun yang sudah terjadi dan yang akan terjadi hanya Allah SWT yang Maha Tahu…[]

3 tanggapan untuk “Fisika: Mengajarkan kejujuran

  1. saya belum kuliah, di osaka cuma belajar bahasa jepang.
    yang di osaka university itu asrama saya.
    syarat ikut olimpiade international itu belm nerumur 20 dan belum kuliah.

    Suka

  2. Sabar aja. Begitulah sistem pendidikan kita.
    Bersyukur aja masih ada siswa yang punya minat untuk belajar dan meraih keberhasilan.
    Lebih baik ada sedikit dari pada tidak ada sama sekali yang mengharumkan nama bangsa di dunia Internasional

    Suka

  3. syarat mengikuti IPHO dan APhO umur kurang dari 20 tahun dan belum kuliah.
    Widagdo Setiawan dan Agustinus Peter Sahanggamu sudah lulus SMA pada tahun 2002 tetapi dapat mengikuti IPHO dan APhO tahun 2003 meskipun Widagdo dan Peter telah diterima di MIT Boston AS. dan kuliah mulai September 2003 tetapi Peter tidak ikut APHO dan APhO 2003 karena ingin memberi kesempatan kepada siswa lain.
    Biaya kuliah dan biaya hidup Peter dan Widagdo hingga PHd ( Doktor) masing-masing minimal 9 x U$ 48,000.00 = U$864,000.00 dalam rupiah kira-kira Rp. 4.000.000.000,00 Jadi Rp 100 miliar hanya cukup untuk 50 Doktor.
    Allumni Tofi tiap tahun sekitar 30 siswa.
    Saya menyangsikan biaya Rp 100 miliar untuk keberangkatan team A ke Shanghai, karena biaya tofi tahun 2002 kurang dari Rp 10 miliar
    Perlu diadakan penelitian dampak dari APhO, IPHO bagi pendidikan di Indonesia.
    Moderasi bukan arena tawar menawar nilai tetapi yuri memberi kesempatan bagi Team Leader untuk berargumentasi tentang jawaban dari peserta.

    Suka

Tinggalkan komentar