Kapan ‘Iedul Fithri 1432 H..?

Kapan 1 Syawwal..?
Kapan Lebaran...?

Thoriqoh Naqsabandiyah :  Senin 29 Agustus 2011; Muhammadiyah :  Selasa, 30 Agustus 2011; Selanjutnya (Insya Alloh) PERSIS, NU, MTA, dan Pemerintah RI: Rabu, 31 Agustus 2011. Semoga Saudi juga Rabu, 31 Agustus 2011 (kecuali ada Klaim…!)
Mengapa Hisab dan Rukyah bikin ummat resah? Ntar dulu… Hisab dan Rukyah itu ibarat sekeping mata uang, dua muka namun satu kesatuan. Usai hisab pasti dilakukan rukyah meski akli saja; mau rukyah pasti melalui tahapan hisab dahulu.

SUMBER PERBEDAAN

Sebenarnya, akar permasalahan perbedaan awal bulan (Ramadan, Syawwal, DzulHijjah) di Indonesia (juga negara2 lain) adalah pada penafsiran ayat 189 surat Al-Baqoroh.

Surat Al-Baqoroh ayat 189
Surat Al-Baqoroh ayat 189

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;

Apa itu HILAL?

Bagi ummat Islam Indonesia, sampai detik ini belum ada kata sepakat untuk mendefinisikan HILAL ini. Muhammadiyah mengatakan bahwa hilal adalah ketika hasil hisab menyatakan tingginya di atas NOL derajat. NU menyatakan bahwa hilal kalau sabit bulan itu bisa dilihat. Pemerintah merumuskan, bahwa hilal adalah bila syarat imkanurrukyah terpenuhi. Dan seterusnya…

BERSAMA ULIL AMRI

Supaya bisa dieliminir perbedaan itu, maka solusinya adalah di tangan lembaga yang menaungi semua ormas dan elemen ummat ini; yakni Menteri Agama RI. Singkron dengan Fatwa MUI 2/2004 ini, berikut fatwa Dewan Kyai PPMI Assalaam :

Puasa Ramadhan, I’edul Fithri, I’edul Adha bersama Pemerintah/Penguasa/ulil Amri merupakan salah satu prinsip agama Islam, selama keputusan yang diambil telah melalui proses yang syar’i (dengan Rukyatul Hilal, musyawarah antar lembaga-lembaga, Ormas-ormas Islam, dengan keputusan bersama).

Mentaati penguasa/pemerintah/Ulil Amri dalam hal-hal yang ma’ruf adalah salah satu prinsip agama Islam, yang akhir-akhir ini banyak diabaikan oleh kita umat Islam. Akibat diabaikannya prinsip ini sangat dirasakan oleh kita antara lain timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam, khususnya saat menentukan awal dan akhir Ramadhan dan hari I’edul Fithri/Adha.

Fenomena Ramadhan yang penuh syi’ar kebersamaan, kesatuan umat Islam-lapar bersama, mengisi malam-malamnya dengan tadarus Al-Qur’an, tarawih, ceramah dan kegiatan-kegiatan kajian keIslaman, serta ibadah-ibadah yang lain – di tanah air sangat terasa, bahkan di se-antero dunia, merasakan yang demikian ini.

Namun syi’ar kebersamaan ini kian terusik manakala dari element-element umat Islam semacam berlomba memamerkan keputusan-keputusan yang berbeda-beda, keputusan atas nama ormas, parpol, lembaga-lembaga pendidikan, LSM dan pribadi, yang masing-masing mengklaim keputusannya yang paling benar, tentu dengan berbagai dalil yang diunggulkan.

Sayang, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan umat ini kerap diawali dan diakhiri dengan fenomena yang jauh berbeda. Tentu hal ini sangatlah menyedihkan bagi siapa saja yang mendambakan persatuan umat. Sebab-sebab terjadinya perpecahan ini dikalangan umat Islam, terutama dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan, termasuk I’edul Fithri dan I’edul Adha, tentu disamping perbedaan penentuan mathla’, juga perbedaan methode hisab dan ru’yatul hilal yang tidak kalah pentingnya adalah tidak/kurang mentaati keputusan Pemerintah/Penguasa/Ulil Amri, meskipun keputusan itu adalah perkara-perkara yang ma’ruf, bukan ma’shiyat serta telah melalui proses yang memenuhi syarat-syarat syar’ie.

Antara ketaatan kepada Pemerintah/Penguasa/Ulil Amri dengan pelaksanaan Ramadhan, I’edul Fithri, I’edul Adha yang merupakan salah satu syi’ar kebersamaan dan persatuan umat mempunyai hubungan yang erat.

Dari kajian yang mendalam dan obyektif, ilmiyah, tentang shoum Ramadhan, I’edul Fithri, I’edul Adha yang bebas dari unsur-unsur kepentingan pribadi, golongan, hawa nafsu, egoisme, fanatisme dan lain-lain, serta atas dasar ayat-ayat al-Qur’an yang agung, hadits-hadits Rasulullah SAW atau para Khulafaaur Rosyidin, shahabat-shahabat yang masyhur, serta lagi dari fatwa para ulama, baik yang salafi ataupun yang kontemporer, dalam berbagai kitab yang terkenal, dapat di ambil kesimpulan bahwa :

  1. Puasa Ramadhan, I’edul Fithri/I’edul Adha merupakan syi’ar kebersamaan dan kesatuan umat Islam yang harus selalu dipertahankan / diupayakan.
  2. Syi’ar kebersamaan dan kesatuan umat Islam ini, akan terus memudar manakala umat Islam itu sendiri selalu bertikai, bercerai berai dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan.
  3. Ibadah yang sifatnya umum dan kebersamaan semacam ini keputusannya harus ditangan penguasa di masing-masing negara, bukan individu, golongan, partai, organisasi tertentu, LSM, lembaga pendidikan dan sebagainya.
  4. Puasa Ramadhan, I’edul Fithri, I’edul Adha bersama Pemerintah/Penguasa/ulil Amri merupakan salah satu prinsip agama Islam, selama keputusan yang diambil telah melalui proses yang syar’i (dengan Rukyatul Hilal, musyawarah antar lembaga-lembaga, Ormas-ormas Islam, dengan keputusan bersama).
  5. Pengalaman dan kenyataan membuktikan bahwa puasa Ramadhan I’edul Fithri/I’edul Adha, bersama Pemerintah/Penguasa/Ulil Amri mewujudkan suasana persatuan dan kesatuan ummat sangat kentara. Sebaliknya jika pelaksanaannya berseberangan dengan Penguasa/Pemerintah/Ulil Amri, maka suasana perpecahan di tubuh umat ini sangat terasa.

Hal ini akan semakin menguatkan akan perlunya puasa Ramadhan, I’edul Fithri/I’edul Adha bersama-sama dengan Penguasa/Pemerintah/Ulil Amri serta mayoritas umat Islam di negeri ini. [Muh. Chozin Shiddiq-PPMI Assalaam, 2011)

PEMERINTAH INDONESIA, ISLAMI?

Ada sebagian ummat Islam yang menyatakan bahwa :

Mengikuti UlilAmri itu harus jelas Pemerintahnya, yaitu yang islami. Pemerintah Indonesia tidak islami, maka tidak wajib diikuti.

Kalau memang tidak Islami,mengapa kita masih makan dan minum serta tinggal di bumi Indonesia..?

Kalau memang ada pemerintah yang islami, mengapa kita tidak hijrah saja ke negara itu..?

Kita harus realistis, kita sepakat bahwa pemerintah harus islami; namun hidup ini perjuangan, dan selama aktifitas ubudiyah ummat ini dilindungi, maka pemerintah yang demikian harus kita jadikan pegangan untuk menyatukan ummat dalam ubudiyah tersebut.

Sekali lagi, perpecahan sebenarnya bukan disebabkan oleh unsur pemerintah (Kementerian Agama), namun justru oleh sekelompok ummat Islam sendiri. Maka, sudah bukan saatnya lagi kita mengadu argumen. Sebab semuanya punya dalil dan rujukan; dan semuanya mengganggap dalilnya yg paling benar.

Dan ketika semuanya merasa paling benar; sudah pasti bukan ukhuwwah yang terjadi; namun ikhtilaf… Apakah ikhtilaf ini rohmah?

SOLUSI

Nah, untuk kasus 1 Syawwal 1432 H ini, secara garis besar: Muhammadiyah dan NU (Insya Alloh juga Pemerintah) berbeda. Muhammadiyah jatuh Selasa, 30 Agustus 2011, NU jatuh Rabu, 31 Agustus 2011.

Ketika saudara2 kita Muhammadiyah sholat Iedul Fitri; teman2 dari NU membantu menjaga parkir, membantu mengatur lalu lintas, membantu dokumentasi, dan sejenisnya. Begitu juga hari berikutnya, dan ini akan nampak keindahan dan keberkahan… terlepas dari perang dalil yg tidak ada ujungnya. 🙂

Sudah bukan saatnya kita beradu argumen, perang dalil, dan sejenisnya…..

Kini saatnya, kita fokus pada adu dan perang kriteria…..

Saya dan teman2 di LP2IF RHI sudah menawarkan satu kriteria Hilal di Indonesia, yang kami namakan Kriteria RHI. (Detail bisa dibaca di sini)

LEBARAN BERSAMA

Selama Pemerintah belum mengganti kriterianya, maka Puasa, Lebaran dan Idul Kurban, akan bersama; bila secara hisab kondisi HILAL:

  1. Ketinggian di atas ufuk (Matahari terbenam) minimal 2 derajat
  2. Ketinggian di atas ufuk (di samping Matahari terbenam) minimal 3 derajat
  3. Usia nya minimal 8 jam

Kalau ada yg tidak sepakat dengan kriteria ini, maka kebersamaan pasti sudah tidak bisa diharapkan lagi.

PESAN PROF. QURAISH SHIHAB

7 tanggapan untuk “Kapan ‘Iedul Fithri 1432 H..?

  1. MENURUT SAYA KALO TDK BISA DISATUKAN JUGA TDK APA2. KARENA PASTI SESEORANG MEMILIKI METODE YANG PAS YG TDK PAS BAGI ORANG LAIN. YANG PERLU DISATUKAN ADALAH CARA ORANG MENGHARGAI CARA ORANG MENYIMPULKAN MASALAH, DENGAN KATA LAIN MENGHARGAI PENDAPAT YANG BERBEDA. YANG PERLU DIDUKUNG DAN DIDORONG ADALAH SOSIALISASI TERUS MENERUS TENTANG SIKAP TERHADAP METODE BERBEDA . DENGAN MENGEMUKAN ASAL USUL PENGAMBILAN KESIMPULAN

    Suka

  2. ustadz, afwan,, kenapa orang / oknum yang melihat hilal di jepara dan cakung ditolak oleh pemerintah? krn hilalnyakah atau bagaimana? apakah hal tsb Syar’i ustadz?
    mhn jwabannya.. jzakaLlah..

    saya berfikir positif saja, pemerintah sudah musyawarah; dan memang secara sains hilal di Cakung dan Jepara tidak berbeda dengan daerah lain, bahkan yg paling tinggi mestinya Pelabuhan Ratu atau Parangkusumo DIY; nah di dua lokasi itu tidak terlihat meski alat canggih.
    Tetapi secanggih apapun, hilal di bawah 2 deg mustahil dilihat. Bahkan di Cakung, pengakuan terlihat pada jam 17:40, padahal di pelabuhan Ratu, saat itu Matahari masih bersinar. Jadi meski sumpah demi Alloh, sah saja secara syar’i sumpahnya… Namun terkait dengan rukyah, menjadi sangat tidak masuk akal. ilmu dan Iman itu seirama, lihat surat Al-Muajadilah 11. Jadi kalau ditolak, saya menilai wajar sekali, karena tidak logis. Kasus di Jepara, ada sahabat saya Ustadz Agus YN, beliau ahli rukyah penerus Kyai Turaihan kudus saja ndak melihat; maka gus Mujab ditolak juga wajar.
    Di Dunia tgl 29 Agustus Hilal ndak ada yg terlihat, coba cek di http://www.icoproject.org/icop/shw32.html atau di http://moonsighting.com/1432shw.html salam

    Suka

    1. jazakaLlah ustdz.. sy sndiri brhari raya tgl 31,, namun tman saya trus mndebat bahwa pmerintah tidak konsisten krn “nunggu2 hilal, tp giliran ada yg liat, malah ditolak”..

      syukron, salam..

      Suka

Tinggalkan komentar